Resensi buku "Pria Tua Di Lorong Senja"
Judul :Pria Tua Dilorong Senja
Pengarang :Muhammad syahrial ashaf
Penerbit :Lafal Indonesia
Jumlah halaman :152
Ringkasan,
Sinopsis buku;
Komitmen keberpihakan sastra indonesia pada persoallan sosial merupakan kemulian. Cerpen-cerpen yang baik adalah cerpen yang mau menggali persoallan masyarakat yang mendalam,tentu saja dengan sudut pandang yang menarik.
Cerpen-cerpen dalam buku ini adalah merupakan suguhan komitmen sastra indonesia pada promblem terdekat kita sehari hari terutatama soal hancurnya moralitas masyarakat karena menjamurnya fenomena korupsi. Diolah dengan bahasa yang mudah diterima oleh orang awam , maka cerpen ini juga mengawal manusia agar setia dengan nurani dan selalu ingat kepada tuhan. Sebab dengan jalan itulah maka posisi kemanusiaan kita akan berada dalam martabat yang terhormat.
Sudut pandang dari pembaca;
lia2151:
berbagai rekam jejak dan peristiwa dalam buku kumpulan cerpen ini, saya seperti dibawa berjalan-jalan di masa lalu, yang entah dalam kenyataannya adalah milik penulis, atau bahkan saya dan Anda semua sebagai pembaca. Menikmati semilir angin, kesejukan gemericik jernih air sungai dan kersik daun bambu di pedesaan. Hal-hal sederhana yang sarat kenangan itu begitu pandai digambarkan oleh seorang Dian Hartati melalui kemampuannya mengolah kata-kata deskriptif dalam setiap cerpennya. Dia begitu lincah menceritakan kehidupan masyarakat di pedesaan dengan segala keindahan alamnya. Juga tentang kenangan masa kanak-kanak, keceriaan bermain dengan permainan tradisional, mandi di sungai, memandikan kerbau, bahkan sekedar membuat kuteks dari tanaman pacar air, yang banyak tumbuh di halam rumah.
Sebagai penulis, yang sepengetahuan saya, Dian Hartati lebih dikenal sebagai penyair, ketimbang cerpenis atau esais. Hal demikian menjadi lekat dalam pemilihan kata-kata yang tetap puitik dalam cerpennya, meskipun sudah dibuat sedeskriptif mungkin, tetap terdapat metafor-metafor puisi di dalamnya. Misalnya dalam kalimat ini: “Gemunung di tapal batas kerinduan, senja di lintas kenangan. Semua isyaratkan getir peristiwa.” (dalam cerpen “Peziarah Abadi”). Pemilihan kalimat-kalimat puitik lainnya banyak bertebaran di cerpen-cerpen yang lain, ibarat bumbu masakan, sajian cerita di cerpen ini gurih dan lezat dinikmati dengan adanya kalimat puitik tersebut. Ada benang merah yang sama dengan cerpen “Peziarah Abadi”, yakni cerpen “Lelaki yang Menunggui Pintu”, dimana terdapat tokoh seorang bapak tua yang menurut masyarakat setempat diyakini mempelajari ilmu hitam, harus berjemur ketika matahari pagi dengan kaki menjulur tepat di ambang pintu, kemudian sang tokoh meninggal di saat terjadi gerhana bulan. Mitos berbagai ilmu hitam hingga saat ini pun masih terdapat di masyarakat pedesaan pedalaman.
DAFTAR ISI:
Perempuan di bibir tangga: 7
Pria tua di lorong senja: 18
Samudera cahaya: 28
Sayap cinta dan air mata: 38
Restumu bunda yang kuharapkan: 50
Tuhan membalas suratku: 61
Wajah seribu wajah: 72
Nyanyi sunyi di rumah tua: 83
Bila ikan bisa memilih: 93
Daun-daun jati berwarna hitam: 107
Ditolak pulang: 117
Manusia baru: 129
Noktah di perjalanan suci: 139
Biodata penulis:
Muhammad Syahrial Ashad, lahir di bau-bau, Sulawesi tenggara, 19 April 1966. Selain aktif menulis cerpen, mantan ketua umum badan perwakilan mahasiswa Fisipol UVRI ini, juga rajin menulis puisi, artikel politik, esai kebudayaan, serta kritik film di sejumlah surat kabar yang terbit di Sulawesi tenggara, sulawesi selatan, medan, surabaya dan jakarta. Pada tahun 1989 sempat mengikuti Festival Film Indonesia (FFI) untuk genre kritik film.
Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit adalah, Khotbah di bibir jalan (2006), Sepatu menginjak bibir dan telinga (2007), Sebilah badik di sayap Jibril (2008).
Resensi buku kumpulan cerpen yang kawan-kawan lihat sekarang adalah resensi buku keempat dari penulis.
Biodata penulis artikel.
Komentar
Posting Komentar